Kamis, 10 Februari 2011

Pardian, Sang Inventaris

Fakultas Kehutanan
Duduk-duduk santai di bawah rimbunnya pepohonan, sambil sesekali menikmati kicau burung barangkali hanya impian bagi kebanyakan orang kota. Lebih merupakan impian lagi manakala kegiatan itu dilakukan di tengah kota. Karena memang sudah tidak banyak lahan tersisa untuk itu. Namun ternyata, meski terbatas, UGM memiliki beberapa hutan mini di dalam lingkungan kampusnya. Salah satu yang masih bertahan hingga saat ini adalah Hutan Mini Pardian.
Hutan yang terletak di sisi barat Fakultas Kehutanan (utara Gedung Pusat) itu diberi nama demikian karena tidak bisa dilepaskan dari jasa seorang Pardian. Tidak banyak yang mengenal sosoknya, memang. Hanya beberapa profesor dan guru besar Fakultas Kehutanan yang masih menyimpan memori akan dedikasinya.
Prof. Dr. Ir. Achmad Sulthoni, M.Sc., staf pengajar jurusan Budi Daya Hutan yang juga adik kelas Pardian, menyebutnya sebagai benar-benar rimbawan. Pardian yang masuk UGM tahun 1953 dan baru menyelesaikan studi sarjananya di akhir tahun 1970-an, itupun atas desakan teman-temannya, memang memiliki perhatian mendalam terhadap permasalahan hutan di Indonesia. Tak heran jika kemudian sempat muncul istilah "inventaris fakultas" yang melekat di tubuhnya sebagai akibat begitu lamanya bertahan di kampus.
Untuk tuna netra
Bukan malas yang jadi penyebab, tapi perhatiannya terhadap masalah hutan memang banyak menyita waktu beliau. Area yang saat ini telah menjadi hutan mini tersebut sejak tahun 1950-an sudah dijadikan sebagai tempat praktikum mahasiswa Kehutanan. Tentu saja kondisinya belum seperti sekarang. Melihat itu semua, Pardian tergerak untuk mengembangkan areal tersebut secara lebih terawat. Tinggal dan beraktifitas sehari-hari di dalam hutan itu menjadi pilihan hidupnya.
Awalnya, hutan mini itu diperuntukkan juga sebagai sarana sosialisasi hutan kepada para tuna netra. Di setiap pohon diberi papan nama dan ditulis dengan huruf braille, sehingga tuna netrapun dapat mengenal bagaimana "rupa" isi hutan sebenarnya.
Pardian yang kemudian menjadi staf pengajar sylvikultur pada jurusan Budi Daya Hutan ini juga banyak terlibat dalam pengembangan hutan Wanagama. Perjuangannya yang gigih dan mampu membina hubungan baik dengan warga sekitar telah memberi andil cukup besar terhadap pengembangan lahan kering yang kemudian menjadi areal hutan tersebut. Prof. Sulthoni menceritakan bagaimana sikap Pardian yang terbuka dengan warga sekitar. Warga yang umumnya memiliki ternak itu diperbolehkan masuk area hutan dan mengambil rumput yang ada, dengan menyerahkan pupuk kandang sebagai gantinya.
Diserbu ‘baju hijau’
Menurut doktor lulusan dalam negeri pertama bidang Kehutanan ini, Pardian tidak sekedar membangun hutan tapi juga melakukan pembibitan. Pada peringatan Dies UGM tahun 1977 di mana salah satu acaranya adalah penghijauan kampus, bibit yang dipakai berasal dari kerja keras Pardian dan dosen Kehutanan lainnya. "Sempat ada anekdot muncul waktu program penghijauan kampus yang juga tengah marak dengan aksi demo mahasiswa itu. Ternyata kampus benar-benar diserbu 'baju hijau' (militer-red)," kenangnya.
Begitu besar curahan perhatiannya terhadap pengembangan hutan, sampai-sampai hingga akhir hayatnya di penghujung tahun 80-an, Pardian tetap membujang. "Malah ngrumati anake wong (malah memelihara anak orang-red)," tutur Prof. Sulthoni, "dia memang mudah membina hubungan baik dengan orang lain."
Pardian memang bukan seorang profesor atau guru besar. Namun, beliau sudah membuktikan bahwa jiwa pionir yang mengedepankan inisiatif dan kreatifitas disertai usaha keras adalah sumbangan berarti yang bisa diberikannya. Atas dasar dedikasinya tersebut, kemudian di masa Prof. Koesnadi Hardjosoemantri menjabat sebagai rektor UGM, hutan mini di Fakultas Kehutanan diberi nama Hutan Mini Pardian.
Namun, mampukah hutan mini ini tetap eksis dan dipertahankan di tengah pembangunan fisik yang makin marak di UGM ?
Zaki
Source http://bulaksumur.tripod.com/november/edisi41/pardian.htm
 

Design By:
SkinCorner